Pertama: Hukum asal yang diakui oleh nash dan
kaidah-kaidah syariat adalah membiarkan umat bebas dalam jual beli
mereka, dalam mengoperasikan harta benda mereka dalam bingkai hukum
syariat Islam yang penuh perhatian dengan segala kaidah di dalamnya. Hal
itu sesuai dengan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (An-Nisa:
29)
Kedua: Tidak ada standarisasi keuntungan tertentu yang
mengikat para pedagang dalam melakukan berbagai transaksi jual beli
mereka. Hal itu dibiarkan sesuai kondisi dunia usaha secara umum dan
kondisi pedagang dan kondisi komoditi barang dagangan, namun dengan
tetap memperhatikan kode etik yang disyariatkan dalam Islam: Sikap
santun, puas, toleransi dan simpel.
Ketiga: Berlimpah
dalil-dalil dalam ajaran syariat yang mewajibkan segala bentuk aktivitas
dibebaskan dari hal-hal yang diharamkan atau bersentuhan dengan hal-hal
haram, seperti penipuan, kecurangan, manipulasi, memanfaatkan
ketidaktahuan orang lain, memanipulasi keuntungan, memonopoli penjualan,
yang kesemuanya berbahaya bagi masyarakat umum maupun kalangan khusus.
Keempat: Pemerintah tidak boleh ikut campur menentukan standarisasi
harga kecuali kalau melihat adanya ketidakberesan di pasar dan
ketidakberesan harga karena berbagai faktor yang dibuat-buat. Dalam
kondisi demikian, pemerintah boleh turut campur dengan berbagai sarana
yang memungkinkan untuk mengatasi berbagai faktor dan sebab
ketidakberesan, kenaikan harga dan kamuflase berat tersebut.
0 Komentar:
Posting Komentar